Kisah Semar Mbangun Khayangan yang menjadi Lakon Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk di acara Bersih Desa Kelurahan Gedog Kecamatan Sananwetan Tahun 2017 ini sebenarnya memiliki makna filosofi yang luar biasa, sebuah lakon yang sangat - sangat kritis sebenarnya, namun semua tergantung bagaimana sang Dalang memainkan peran dalam melakonkan alur cerita ini; Semar adalah sosok rakyat jelata yang hanya seorang abdi sebuah bentuk penggabaran masyarakat yang miskin dan selalu dianggap remeh oleh orang - orang yang merasa memiliki pengetahuan tingga dan berkuasa. Namun sebenarnya SEMAR adalah penggabaran tokoh menggambarkan sifat-sifat yang mewakili kepribadian yang dihidupkan oleh pencerita (Dalang).
Tokoh Ki Lurah Semar misalnya digambarkan berwajah bulat dan pucat, oleh karena itu ia juga disebut Ki Badranaya, badra berarti rembulan, naya berarti wajah. Dan juga dijuluki Nayantaka, naya berarti wajah, taka berarti pucat. Kedua julukan tersebut menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan, yang dalam pusaka hasta brata, menunjukkan seorang yang tenang, tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Ini merupakan nilai dari kalimat wani mati sajroning urip ‘berani mati di dalam hidup’. Perbuatannya selalu pasrah pada sang pencipta, dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Dengan demikian, dalam perspektif spiritual Semar mewakili watak yang sederhana, rendah hati, tulus, tidak munafik, tak pernah menunjukkan perasaan yang berlebihan. Pembawaannya tenang, memiliki ketajaman batin, jenius, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan, simbolisasi dalam budaya jawa menjadi sebuah hal yang penting.
Dari judul menjadi sebuah hal yang mustahil, jika seoarang rakyat jelata, seorang Semar mampu mewujudkan niatnya membanguan Khayangan, namun hal ini hanya sebuah SIMBOL dalam menerangkan maksud dan niat Ki Semar, Dalam lakon Semar Mbangun Kahyangan, semar bermaksud untuk membangun jiwa dari para pemimpinnya. Karena keberadaan Semar saat itu hanya sebagai abdi (rakyat yang tidak bermartabat), maksud baik semar justru dipertanyakan. Bahkan Sri Krisna sendiri berkoalisi dengan para dewa untuk menggagalkan rencana Semar. Mau tidak mau para Pandawa mengikuti keinginan Sri Krisna. Hanya Sadewa yang menentang Sri Krisna dan saudara-saudaranya. Sadewa lebih memilih bersama Semar, demi tegaknya kebenaran. Simbolik cerita dari kisah ini digambarkan dengan tiga pusaka: Jamus Kalimasada, Tumbak Kalawelang dan Payung Tunggulnaga. Semar menghendaki memijam ketiga pusaka itu untuk membangun Kahyangan. Inilah awal dari pertentangan yang dihadapi Semar.
Namun Semar tetap melanjutkan tekadnya, meskipun tidak direstui oleh para penguasa dan pemimpinnya. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya dan tekad yang bulat akhirnya semar berhasil dalam menjalankan tapanya. Jamus Kalimasada adalah pusaka andalan Kerajaan Amarta, Kalimasada tidak lain adalah “Dua Kalimat Syahadat” yang merupakan kunci ke-islaman seseorang. Sedangkan Tumbak Kalawelang, adalah simbol dari ketajaman budi. Tumbak bentuknya menyerupai anak panah, namun lebih besar. Panah berasal dari kata “Manah” = bahasa kawi Jawa kuno. Yang artinya budi pekerti, pikiran, rasa, jiwa. Dalam bahasa Jawa “manah” juga berarti “penggalih”. Kalau penggalih ini sudah sakit, maka seluruh jiwa dan raga akan sakit, seluruh tingkah dan polah manusia akan sakit. Kalawelang, berasal dari dari kata “Kala” dan Welang.
Kala adalah simbol dari berjalannya waktu. Tak ada yang bisa menghalangi berjalannya waktu. Semuanya akan diterjang dan dihancurkan oleh Sang Kala. Welang adalah ular yang yang paling berbisa. Bisa dari ular welang ini sangat mematikan. Namun welang disini berkaitan dengan wulang dan weling, yang mempunyai makna sebagai sebuah ajaran dan pitutur. Dan yang ketiga, adalah pusaka Payung Tunggulnaga. Payung adalah pengayoman. Pengayoman dari para penguasa. Kalau para penguasa dan pejabat sudah tidak bisa mengayomi rakyat, apalah jadinya negara ini. Tunggulnaga, tunggul bermakna meliputi di atasnya, artinya menaungi. Sedangkan Naga adalah gambaran sebuah ular raksasa yang sangat besar. Namun makna sebenarnya adalah kekuatan dari naga itu sendiri. Tidak lain adalah people power. Naga disini bermakna “naga-ra” atau NEGARA. Satu-satunya kekuatan yang mampu menegakkan negara adalah kekuatan rakyat.
Kisah Semar Mbangun Kahyangan, adalah sebuah bentuk edukasi moral. Sebenarnya merupakan sindiran bagi para penguasa, agar para pemimpin tidak dininabobokan oleh kekuasaan sehingga menjadi lalai bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat dari rakyat. Begitulah pujangga pada jaman dulu. Tidak berani mengkritisi para penguasa secara terang-terangan. Namun secara terselubung membuat suatu lakon cerita yang sebenarnya sangat tepat jika disebut sebagai nasehat. Rakyat jelata adalah sentral dari lakon Semar Mbangun Kahyangan. Petruk diutus Semar untuk meminjam ketiga pusaka Kerajaan. Namun di Sitihinggil Kraton Amarta bertemu dengan Sri Krisna. Setelah mengutarakan maksudnya, Petruk malah dicaci-maki oleh Sri Krisna. Dianggap tidak tahu diri, karena hanya dari kalangan rakyat jelata berani meminjam pusaka andalan kerajaan. Akhirnya Petruk dihajar sampai babak belur dan diusir pula. Sadewa melihat keadaan seperti itu sangat trenyuh hatinya. Ia pergi meninggalkan kedaton, mengikuti Petruk untuk menjumpai Semar.
Para kadang Pandawa hanya mengiyakan pendapat Sri Krisna. Semar bukannya malah marah mengetahui kejadiannya seperti itu, ia justru menangis tersedu. Melihat pada penguasa yang tidak punya pendirian. Tangisan Semar rupanya didengar oleh ketiga pusaka yang ia kehendaki dalam mendampingi tapanya. Ketiga pusaka itu datang menghampiri Semar ke Karangkabuyutan dimana Semar tinggal. Mengetahui ketiga pusaka andalan itu murca, para kadang Pandawa kebingungan. Sri Krisna menghadap Bathara Guru. Mereka berdua bersekongkol untuk menghalangi dan menggagalkan usaha Semar untuk Mbangun Kahyangan. Disinilah eksistensi spiritual Semar diuji. Jatidiri seorang Semar yang sebenarnya muncul. Bahkan kekuatan dan kesaktian Bathara Guru pun tidak ada artinya sama sekali. Bathara Guru adalah dewa paling berkuasa di Kahyangan. Niat tulus, jiwa yang ikhlas, serta semangat dan tekad yang bulat dari Semar ternyata membuahkan hasil. Dengan didampingi ketiga pusaka, yang tidak lain adalah “Syahadat” yang merupakan kunci ke-isalaman,
Tumbak Kalawelang, pikiran dan hati yang bersih namun tajam, Serta Payung Tunggulnaga, sebuah usaha untuk melindungi dan memberikan pengayoman pada seluruh rakyat jelata. Setelah mengetahui niat semar yang sebenarnya, para kadang Pandawa kembali bersatu. Dan Sri Krisna meminta maaf kepada Semar. Semoga dengan lakon Semar Mbangun Khayangan ini para pemimpin akan selalu memperhatikan rakyat jelata, tidak meremehkan peran - peran masyarakat yang secara samar tidak kelihatan akan selalu ada dalam mendukung sukses nya pembangunan dan kerukunan bermasyarakat di Kelurahan Gedog Kecamatan Sananwetan.
by Eka Gigis