(kimasabri) Dalam gelaran Puncak Acara Keroncong Svaranusa 2025 di Alun - alun Kota Blitar, yang dihadiri oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon beserta Pejabat Kementrian, Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba; sejumlah Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Walikota di Jawa Timur dan Jawa Tengah; Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, Ahmad Mahendra; Staf Khusus Menteri Bidang Protokoler dan Rumah Tangga, Rachmanda Primayudha; Direktur Festival, Musik, dan Seni, Syaifullah Agam; Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur, Endah Budi Heryani; jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Blitar; dan deretan seniman, budayawan, serta komunitas musik keroncong.
Dalam Puncak Acara ini selain menyajikan pertunjukan Musik Kerocong dari bintan tamu dan juga pengisi acara dari group musik keroncong dari berbagai daerah seperti Makasar, Tulungagung dan Kota Blitar sendiri, juga dilaksanakan penyerahan Penghargaan kepada 3 orang Maestro Keroncong oleh Menteri Kebudayaan, antara lain :
Pertama adalah Waldjinah yang lahir pada 7 November 1945. Sejak menjuarai kontes Ratu Kembang Katjang pada 1958 dan Bintang Radio Indonesia 1965, ia mengibarkan bendera musik keroncong dan langgam Jawa. Lewat lagu Walang Kekek dan Jangkrik Genggong, Ratu Keroncong ini menjaga warisan Gesang, Ismail Marzuki, dan Andjar Any tetap hidup. Di usia senjanya, ia masih tegak sebagai simbol ketekunan dan dedikasi seni, antusias dan tepuh tangan masyarakat begitu membahana saat Waldjinah naik kepanggung.
Yang kedua adalah Tuti Maryati yang lahir pada 8 Oktober 1956 di Makassar menerima penghargaan dengan penuh kebanggaan. Dulu dikenal dengan nama Tuti Tri Sedya, ia adalah penyanyi serba bisa yang mampu melantunkan keroncong dalam dua puluh empat bahasa. Sejak remaja aktif di Paskibraka, mengikuti pertukaran pelajar ke Kanada, hingga meraih predikat cum laude di bidang hukum, kiprahnya terus bersinar.
Namanya melambung setelah menjuarai Bintang Radio dan Televisi 1986 kategori keroncong, dan sejak 1988 ia rutin tampil di Istana Negara. Tuti yang belajar keroncong secara otodidak dengan menirukan gaya Waldjinah ini dikenal dengan suara lembutnya yang membuktikan bahwa keroncong bukan sekadar musik pengantar kantuk, melainkan alunan yang menenangkan jiwa.
Terakahir adalah Sundari Soekotjo yang lahir pada 14 April 1965 tampil dengan senyum tenang. Anak seorang tentara ini sudah menyanyi pop di TVRI sejak usia sembilan tahun sebelum menekuni keroncong pada akhir 1970-an. Pada usia empat belas tahun ia memberanikan diri masuk ajang Bintang Radio dan Televisi kategori dewasa meski masih duduk di bangku SMP.
Gelar juara pertama BRTV 1983 menegaskan bakatnya. Berkarier sebagai penyanyi sekaligus guru, Sundari merilis puluhan album keroncong dan menyabet Keroncong Award 2002 serta AMI Sharp Award. Dengan gelar akademis hingga tingkat doktor, Sundari menjadi jembatan antara tradisi keroncong dan generasi baru.
Menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon, "beliau bertiga telah menjaga keroncong hingga dapat tetap eksis sampai saat ini, sehingga harus diapresiasi atas apa yang telah beliu - beliau lakukan selama ini, dan semoga apa yang dilakukan pada malam hari ini dapat menginspirasi untuk kita terus berkembang dengan tetap menjaga budaya dan kearifan lokal yang ada, " tutup Menteri Kebudayaan dalam sambutannya.